PENILAIAN
KINERJA GURU DAN KEPALA SEKOLAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Makalah Mata Kuliah
Supervisi Pendidikan
Dosen
Pembimbing :
Aguswan
Khotibul Umam, S.Ag, MA.
Disusun Oleh :
Ardi Kismawan (1501010244)
Jurusan: Pendidikan Agama Islam
Fakultas /Kelas: FTIK / A
Semester: IV (Empat)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
METRO
TAHUN 2017
PEMBAHASAN
A.
Penilaian Kerja Yang Baik
Pada dasarnya
penlaian kerja ada tiga macam, yakni penilaian unjuk kerja organisasi,
penilaian akan proses, dan penilaian terhadap pekerja.
Pentingnya
penilaian kinerja guru dan kepala sekolah ini dirasakan antara laian karena
sistem penilaian lama dirasa kurang memadai sehingga kurang memuaskan dan
adanya kebutuhan akan sistem baru yang dapat membedakan antara guru/kepala
sekolah yang berkinerja baik dan yang kurang baik, bahkan buruk. Jadi pada
intinya sistem pemnilaian kinerja yang baik adalah sistem yang mempunyai daya
beda memadai dan objyektif.[1]
Secara umum
hasil penilaian kinerja standar-standar yang digunakan dalam penilaian kerja
dapat digunakan untuk keperluan-keperluan :
-
Perekrutan guru dan kepala sekolah
-
Kenaikan pangkat
-
Umpan balik bagi guru/kepala sekolah
-
Penetapan gaji dan bonus kerja
-
Pelatihan dan pengembangan guru dan kepala sekolah
Sayangnya yang banyak terjadi sekarang adalah suatu sistem
managemen sumber daya guru yang belum terpadi, dalam arti belum menyelaraskan
antara acuan-acuan yang dipatokkan dalam penilaian kerja dengan sistem
pengangkatan guru, pengangkatan/promosi kepala sekolah, penentuan naik pangkat,
sistem penggajian, dan sebagainya.
Penerapan suatu sistem penilaian kerja guru dan kepala sekolah yang
baru berarti mengubah atau mengganti cara lama yang sudah berpuluh puluh tahun
diberlakukan. Ini bukan lah hal yang mudah dan kemungkinan besar akan
menimbulkan ketidaknyamanan bagi yang haru melaksanakan penilaian (Dinas
Depdiknas, Kepala Sekolah, BP3, dan sebagainya) dan pihak yang dinilai (guru
& kepala sekolah). Keresahan keresahan yang akan tibul itu sebenarnya
wajar, sebagaimana juga banyak terjadi dalam organisasi-organisasi perusahaan,
segala perubahan terutama perubahan besar akan menimbulkan penolakan terutama
bagi pekerja yang sudah tua. Keresahan akan cara penilaian yang baru disebabkan
oleh:
a.
Ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui. Cara penilaian guru
dan kepala sekolah yang baru dan tidak disosialisasikan dengan baik akan menimbulkan
penolakan. Ketakutan juga timbul bila guru dan kepala sekolah tidak paham akan
keuntungan dari diberlakukannya sistem penilaian baru.
b.
Ketakutan kehilangan jabatan. Penilaian baru yang acuanya adalah
kompetensi kerja akan dapat menilai apakah tahun ini guru/kepala sekolah sudah
bekerja dengan baik atau belum dan bagaimana konsekuensi terhadap statusnya
sekarang, serta gajinya.
c.
Ketakutan kehilangan pekerjaan yang “empuk”, menyenangkan , dan
sebagainya guriu dan kepala sekolah yang dinilai tidak trampil dan tidak mampu akan di gantikan oleh guru laian yang
dianggap mampu.
Dalam sistem pendidikan yang telah mengikutsertakan masyarakat
dalam menentukan kebijakan yang akan diambil oleh sekolah (Community Based
Education ), maka BP3 (yang terdiri atas wakil orang tua dan masyarakat) akan
lebih mempunyai kekuasaan untuk menentukan/menilai baik tidaknya kinerja guru
dan kepala sekolah. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem penilaian standar,
obyektif, adil, dan mudah dikerjakan.[2]
Penilaian pekerjaan seringkali dipandang
sebelah mata oleh guru dan kepala sekolah dan hanya dipandang penting apabila
berkenaan langsung dengan kenaikan pangkat dan gaji. Penilaian kerja juga bisa
dilakuakan “on the spot” artinya diisi oleh kepala sekolah tanpa mempunyai
rekaman kerja guru-gurunya selama setahun kemarin. Bila dasar penilaian hanya
DP3 maka penilaian ini amat subyektif dan acapkali tidak berkorelasi dengan
keterampilan dan kemampuan guru mengajar dikelas, memahami cara mendidik dan
memahami perkembangan psikologis peserta didiknya .
Karena subyektivitas yang ada pada sistem /lembaran penilaian
(beserta dimensi yang diukur) maka sering muncul antipasti terhadap
bentuk-bentuk penilaian kerja ini. Faktor-faktor yang biasanya mempengaruhi
rasa antipasti tersebut antara lain:
a.
Kurangnya rasa “memiliki” sekolah baik oleh guru maupun kepala
sekolah sendiri. Hal ini mengakibatkan mereka kurang acuh terhadap kualitas
kerja yang dihasilkannya.
b.
Kesungkanan pihak penilai untuk menyatakan, “berita buruk” kepada
yang dinilai. Umumnya hasil penilaian yang tidak baik akan ditanggapi dengan
negative, dan justru tidak dipakai sebagai masukan yang berguna.
c.
Tidak adanya hubungan antara “bekerja dengan baik” dengan hadiah
yang diterima (gaji, THR, bonus lain)
Disadarinya adanya faktor-faktor yang menyebabkan guru dan kepala
sekolah antipasti terhadap bentuk-bentuk penilaian kerja, maka hal-hal yang
berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaan penilaian kerja harus
diketahui. [3]
Grote (1996) menyatakan bahwa penilaian kerja bukanlah aktivitas
yang dilakukan sekali dengan setahun, akan tetpai terus menerus selama orang
yang dinilai masih bekerja dalam situasi tersebut. Pendangan Grote ini
digambarkan sebagai berikut.[4]
B.
Proses Penilaian Kinerja dalam Setahun
Apabila
terdapat kesalahan yang dilakukan oleh guru/kepala sekolah makan penilai dapat
melakukan bimbingan dan konseling. Yang perlu dicatat adalah kesalahan tersebut
dalam hal apa, intensitasnya menjadi pertimbangan penilaian di akhir tahun.
Penilaian kerja
dilakukan melalui tahapan tahapan tertentu. Bila diasumsikan bahwa kita akan
membuat suatu sistem penilaian kerja yang baru untuk guru dan kepala sekolah,
maka tahapannya adalah sebagai berikut:
Setiap
penilaian kerja yang baik akan bertolak dari apa misi dari sekolah, karena misi
inilah yang harus dicapai oleh setiap individu di sekolah, karena misi inilah
yang harus dicapai oleh setiap individu disekolah dalam mendidik siswa (yaitu
guru, kepala sekolah, karyawan lepas dan sebagainya) oleh sebab itu setiap
individu pegawai yang terlibat di sekolah harus mengetahui dahulu misi
sekolahnya itu apa. Dalam era pemberdayaan sekolah, sekolah seyogyanya
mempunyai misi khusus yang bisa berlaianan antara sekolah yang satu dengan yang
lainnya. Meskipun dipayungi oleh satu misi nasional yakni mencerdaskan bangsa
Indonesia, namun mengingat di setiap tempat ada kekhususan (missal: daerah
Istimewa Yogyakarta dan Bali adalah daerah wisata), maka sekolah dapat
memasukan misi khusus ini sebagai salah satu acuan penilaian kerja. Setelah
misi ini dipahami bersama, barulah dilakukan tahapan I sampai dengan V.[5]
Pada tahap I perlu diketahui kompetensi,
keterampilan, dan perilaku apa yang diharapkan dari setiap guru dan kepala
sekolah yang dinilai. Karena guru dan kepala sekolah adalah dua jabatan yang
berbeda, tentu saja harus ada perbedaan dalam tanggung jawab, sasaran &
standar kerjanya. Pada tahap pelaksanaan komitmen guru dan kepala sekolah harus
jelas. Dalam proses penilaian selama setahun penilai senantiasa memberikan
masukan melalui komunikasi yang terbuka (antara guru dengan penilai) yang data
ini semua akam menjadi masukan untuk penilaian utama di akhir tahun.
Penilaian atau rating
yang didapat oleh guru/kepsek akan dijadikan acuan baik untuk penyesuaian
kompensasi (kenaikan gaji), pengangkatan pegawai baru, dan lain-lain. Hasil
penilaian yang diberikan penilai berupa:
a.
Rating numeric (misal: 1,2,3,4,5)
b.
Frekuensi perilaku (misal: selalu, biasanya, kadang-kadang, dan
sebagainya)
c.
Evaluatif (misal: sangat amat mampu, amat mampu, mampu, dan
sebagainya)
d.
Berdasarkan standar tertentu (missal: jauh melebihi standar,
melebihi standar, sesuai standar, dan sebagainya)
Apabila penilaian akhir telah diberikan kepada guru/kepsek dan
individual tersebut dapat menerimanya maka pada tahap yang terakhir (tahap V)
penilai memutuskan apakah guru/kepsek tersebut layak naik pangkat menerima
kenaikan gaji, perlu pengembangan (kursus, pelatihan, dan lain lain), atau
sebaliknya. Dengan sistem demikian setiap periode kenaikan pangkat tidak semua
guru dan kepsek akan dengan otomatis naik pangkat dan gaji, akan tetapi harus
melalui standar prilaku kinerja yang objektif yang dapat membedakan dengan
sensitive guru/kepsek yang berkinerja baik/ amat baik dengan yang sedang saja
dan buruk. Diharapkan dengan sistem begini, motivasi guru/kepsek akan dapat
terangkat sebab usaha yang dilakukan untuk menjadi guru/kepsek yang baik tiada
sia-sia.[6]
Dalam memberikan penilaian kerja ada sifatnya objektif dan
sunjektif. Penilaian yang objektif maksudnya adalah penilaian yang datanya
merupakan data kuantitatif, contoh: absensi guru/kepsek, keterlambatan masuk
kerja, jumlah kesalahan yang dibuat. Penilaian subyektif didasarkan pada
pertimbangan manusia, misalnya: dari 10 guru diurutkan penilaiannya dari guru
yang terbaik ( nomer/ranking 1) sampai yang terburuk (nomor/rangking 10).
Pendekatan dalam penilaian kerja dapat dilakukan dengan beberapa
cara, antara lain:
1.
Penilaian berfokus pegawai (klasik: berdasarkan cirri sifat)
Penilaian
dengan pendekatan ini dianggap kurang canggih karena mengungkap sifat-sifat
pegawai yang amat sukar diukur, misalnya loyalitas, motivasi diri, adaptasi
keceriaan. Seringkali tidak ada relevansi antara sifat yang diukur dengan
pekerjaan yang dilakukan. Pendekatan cirri sifat ini juga mempunyai kemungkinan
besar salah dalam member penilaian, karena hal ini yang diukur bersifat
konseptual abstrak. Namun demikian penilaian cirri sifat baik untuk memprediksi
hasil kinerja manajerial jangka panjang yang membutuhkan probabolitas
kesuksesan jangka panjang , dilihat sejak sekarang.
2.
Penilaian berdasarkan perilaku
Pendekatan
ini ingin menjawab pertanyaan: guru/kepsek ini mempunyai kemampuan apa?
Kemampuan huru/kepsek secara perilaku adan diukur dengan skala Penjangkaran
Perilaku. Dari setiap perilaku kerja guru (missal: mengajar, membuat karya
tulis, membimbing siswa dan sebagainya) akan ditentukan perilaku apa saja yang
dianggap efektif dan mana yang tidak efektif. Setiap jenjang perilaku dari yang
efektif dan yang tidak efektif akan dibuat nilai berjenjangdan perilaku kerja
guru sehari hari akan diukur sesuai dengan jenjang nilai yang mana pendekatan
ini dianggap cukup adil, mempunyaii validitas dan reabilitas tinggi, mendorong
pegawai mendiskusikan hasil kerjanya, dan cenderung menghasilkan perbaikan
kinerja dengan segera.[7]
3.
Penilaian berdasar hasil yang dicapai.
Pendekatan
ini sering jug adisebut dengan Management by Objectives (MBO). Filosofi
dari pendekatan ini adalah bahwa antara penilai yang dinilai menerapkan ‘win-win
solution’, mendiskusikan hasil kerja yang akan dicapai guru di akhir tahun
( sesuai dengan kemampuan guru) dan reward (hadiah, gaji, dan
sebagainya) akan diberikan sesuai dengan pencapaian target yang ditetapkan
diawal tahun. Kebaikan dari pendekatan ini adalah adanya peningkatan kerja
dalam waktu dekat sistem ini efektif untuk meningkatkan gairah kerja dan
komitmen kerja. Namun demikian, penggunaan sistem ini dapat membuat
guru/kepsekbekerja semata-mata hanya untuk mendapatkan hasil akhir (gaji
dansebagainya)
4.
Penilaian global
Pendekatan
ini berbentuk narasi dan merupakan pendekatan yang paling mudah dilakukan.
Tidak diperlukan formulir yang rumit dalam mengisi yang ada hanya satu lembar
kertas kosong dimana penilai diminta untuk menggambarkan kinerja individu
selama setahun yang lalu, yang berisi kekuatan dan kelemahan dari iguru/kepsek
yang dinilai. Pendekatan ini paling banyak kelemahannya, antara lain dalam
validitas dan rehabilitasnya, mulai menjadi error dalam member nilai dan tidak
tersedia data kuamtitatif.[8]
C.
Butir butir yang diperlukan untuk menilai kinerja secara obyektif
Dalam
mengembangkan suatu penilaian yang baik perlu di pentuk tim yang akan
mengimplementasikan penilaian kerja ini yang seyogyanya terdiri atas unsure
guru, kepala sekolah, dan pejabat Depdiknas yang terkait. Tim multi unsure ini
juga yang nantinya akan memberikan sosilisasi tentang apa saja aspek aspek dari
pekerjaan guru atau kepelasa sekolah yang akan dinilai. Adanya perwakilan dari
bermacam unsur juga membantu keterbuakaan komunikasi antara unsur dan antara
pihak penilaidengan pihak yang dinilai. Untuk menilai hasil usaha kinerja
seseorang, kita harus menjawab pertanyaan berikut ini: (a) apa lingkup tanggung
jawab guru atau kepala sekolah ( accountabilities)? (b) dalam lingkup tanggung
jawab tersebut, sasaran apa yang akan dicapai oleh guru guru atau kepala
sekolah (objectives) dan (c) membedakan antara kerja yang bagaimana yang diukur
dan bagai mana caranya membedakan antara kinerja bagus dan buruk . pada
pelaksanaan penilaian, lingkup tanggung jawab, sasaran kinerja nilai yang
didapat dan dimensi atau aspek apa yang
di nilai/diukur harus tercantum dalam lembar lembar penilaian.[9]
Lingkup tanggung jawab adalah area dalam pekerjaan yang dapat
berubah dari tahun ke tahun. Sumber dari lingkup tanggung jawab guru umumnya
sudah dari Depdiknas. Namun perlu diingat bahwa dengan perubahan jaman lingkup
tanggung jawab guru juga dalat berubah. Misalnya, dalam era teknologi informasi
sekarang ini banyak siswa yang menu tut untuk dapat menggunakan komputer dengan
program programnya yang makkn canggih. Apabila sekolah/ pemerintah dapat
mengadakan hardware dan software
komputer, maka secara tidak langsung guru mempunyai tanggung jawab untuk dapat menguasai
teknologi ini dan mengajarkannya kepada siswa, dan kepala sekolah mempunyai
tanggung jawab bagaimana peratan itu selalu dalam keadaan optimal agr dapat di
gunakan sebagai alat bantu ajar termoderen sekarng ini. Jadi jelas lingkup
tanggung jawab pada dua profezi di atas berbeda, di mana guru tanggung jawabnya
lebih pada pengajaran dan kepala sekolah pada segi manajerial.
Contoh dari ruang lingkup tanggung jawab guru adalah:
1.
Mengajar
2.
Membuat karya
tulis sesuai dengan bidangnya.
3.
Membimbing
siswa yang mengalami kesukaran belajar.
4. Dan lain lain.
Sasaran
adalah tujuan kerja yang hendak dicapai pada tahun itu. Ada dua macam sasaran
yakni sasaran kerja yang merupakan sasaran dari sekolah secara umum dan sasaran
individual guru dan kepala sekolah. Sasaran individual lebih terfokus pada apa
yang harus dilakukan dan dipelajari untuk memperbaiki kinerja. Sasaran individu
harus nyata, dapat diukur, ada terget waktu kapan harus tercapai, singkat ,
tegas dan terpusat pada hasil yang spesifik.[10]
Contoh dari sasaran individual (seorang wali kelas)
Di akhir tahun ajaran beberapa sasaran di bawah ini akan dicapai
1.
Jumlah siswa di kelasnya yang mendapat nilai kurang dari 6 pada
mata pelajaran untama turun 10 % dari tahun lalu.
2.
Jumlah siswa yang mengajukan proposal karya ilmiah naik dari tahun
lalu.
3.
Jumlah hari absen nol pada tahun ini
4.
Dan lain lain.
Contoh sasaran inidividual kepala sekolah
1.
Jumlah siswa yang NEM nya < 45 turun 5%
2.
Jumlah siswa yang NEM nya >= 48 naik 5%
3.
Jumlah proposal karya ilmiyah yang masuk final tingkat kabupaten
naik 5%.
4.
Dan lain-lain.
Dengan target waktu pencapaian yang jelas dan kuantifikasi hasil
yang akan dicapai juga jelas, maka di akhir tahun ajaran kinerja guru atau
kepala sekolah tercapai atau amat tercapai akan terlihat dengan jelas. Bila
terjadi kegagalan pencapaian juga akan mudah dilihat sasaran mana yang belum
tercapai, sebabnya apa dan bagaimana meningkatkannya di tahun yang akan datang.[11]
Selain dari lingkup tanggung jawab dan sasaran kinerja yang harus
dipunyai oleh setiap guru atau kepala sekolah, ada sekumpulan faktor yang harus
dinilai bagi seluruh personil di sekolah. Kumpulan faktor ini disebut Faktor
Kinerja atau Kompetensi. Di organisasi bisnis, kompetensi ini dianggap begitu
penting karena menecerminkan roh dari organisasi tersebut di mana setiap
pekerjaannya harus mempunyai roh yang sama dengan roh perusahaan. Misalnya di
perusahaan minuman soft drink Coca-cola. Faktor kinerja yang dipakai adalah
sebagai berikut:
1.
Komunikasi
2.
Pengetahuan tentang pekerjaan
3.
Pemecahan masalah
4.
Pengambilan keputusan.
5.
Hubungan kerja
6.
Kepemimpinan/ pengembangan bawahan
7.
Perencanaan, pengorganisasian & pendelegasian.
D.
Riviu dan Pengembangan Guru/Kepsek
Telah dinyatakan dimuka bahwa bimbingan keada bawahan (dalam hal
ini kepala sekolah dan guru) harus dilakukan setiap saat, dan bukan hanya pada
hari dilakukannya penilaian. Harap dimaklumi bahwa hasil penilaian guru dapat
berubah setiap tahun tidak semua fakta kinerja dapat diperoleh dan orang biasanya ingin tahu apa yang
dipikirkan atasan tentang hasil kerjanya setahun terakhir ini. Pada sekolah
yang mengaitkan hasil kinerja dengan kenaikan gaji atau bonus, hari riviu/hari
penilaian merupakan hari yang ditunggu oleh guru. Apabila hasil kinerja terkait
dengan gaji dan bonus, maka guru atu kepala sekolah harus mengerti betul
minimum nilai seperti apa yang akan menerima kenaikan gaji (dan hadiah lain)
dan berapa besar kenaikannya (umumnya dalam %). Misalnya, hanya kinerja yang
nilainya minimal memuaskan akan menerima kenaikan gaji sebsar 10 %.
Riviu penilaian kinerja adalah pertemuan antara penilai dengan yang
dinilai untuk membicarakan pecapaian kinerja dari pihak yang dinilai. Pada saat
ini berarti kepala sekolah sebagai pihak penilai harus mempersiapkan formulir
formulir penilaian yang telah diisi dengan seksama, menetapkan hari, tanggal,
jam, serta tempat penilaian. Karena ini hari penting bagi kedua belah pihak dan
bagi sekolah, sebaiknya riviu ini dilakukan dengan serius. Pihak penilai perlu
menyadari bahwa kadang-kadang ada guru atau kepala sekolah yang gagal bekerja
dengan baik pada suatu tahun sehingga nilainya buruk untuk tahun itu. Dalam
keadaan seperti ini biasanya atasan sungkan untuk menghadapi pegawainya,
apalagi ila beda hubungan emosional antara penilai dengan yang dinilai.[12]
Pihak panilai juga perlu mengantisipasi bahwa respon dari guru/kepsek
atas penilaian itu dapat beragam, antara lain yang disebut dengan fight (tidak
menerima, marah, menyanggah, dsb) atau flight (melengos, sinis, dan lain
lain). Dalam mendiskusikan hasil kerja guru atau kepala sekolah selama setahun,
penilai dapat mmakai model seperti dibawah.[13]
KESIMPULAN DAN SARAN
Penilaian kerja bukanlah aktivitas yang dilakukan sekali dengan
setahun, akan tetpai terus menerus selama orang yang dinilai masih bekerja
dalam situasi tersebut. Dalam memberikan penilaian kerja ada sifatnya objektif
dan sunjektif. Penilaian yang objektif maksudnya adalah penilaian yang datanya
merupakan data kuantitatif, contoh: absensi guru/kepsek, keterlambatan masuk
kerja, jumlah kesalahan yang dibuat.
Faktor kinerja yang dipakai adalah sebagai berikut: Komunikasi,
Pengetahuan tentang pekerjaan, Pemecahan masalah, Pengambilan keputusan,
Hubungan kerja, Kepemimpinan/ pengembangan bawahan, Perencanaan,
pengorganisasian & pendelegasian. Riviu penilaian kinerja adalah pertemuan
antara penilai dengan yang dinilai untuk membicarakan pecapaian kinerja dari
pihak yang dinilai.
1.
Sebagai supervisor hendaknya lebih teliti dan adil dalam memberikan
pengawasan, agar potensi yang dimiliki dan penghargaan yang di berikan menjadi
sesuai.
2.
Supervisor hendaknya dapat mengantisipasi berbagai tanggapan atas
penilaian yang diberikan.
3.
Sebagai guru dan kepala sekolah hendaknya memiliki kesadaran dalam
dirinya untuk mengoptimalkan kinerjanya.
REFERENSI
[1] Firdaus,
Taufiq Dahlan, dkk, Model-Model Pelatihan Bagi Pengawas Sekolah, Jakarta
: Departemen Agama RI, Direktorat
Jendral Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Madarasah, 2006, h 50
[2] Ibid, h 51
[3] Ibid, h 52
[4] Firdaus,
Taufiq Dahlan, dkk, Model-Model Pelatihan Bagi Pengawas Sekolah, Jakarta
: Departemen Agama RI, Direktorat
Jendral Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Madarasah, 2006, h 53
[5] ibid
[6] Ibid, h 54
[7] Ibid, h 56
[8] Ibid, h 56-57
[9] Ibid, h 57
[10] Ibid
[11] Ibid, h 58
[12] Ibid, h 59
[13] Ibid,
Comments
Post a Comment